Pendidikan sebagai kunci utama dalam membentuk masyarakat yang berbudaya memang telah menjadi perdebatan panjang di kalangan para akademisi dan pemangku kebijakan. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Anies Baswedan, “Pendidikan bukan hanya sekadar proses transfer pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter dan nilai-nilai dalam diri setiap individu.”
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pendidikan masyarakat Indonesia masih belum memadai. Banyak yang hanya lulusan sekolah dasar atau menengah, sehingga hal ini menjadi tantangan besar dalam membentuk masyarakat yang berbudaya.
Sebagai contoh, pendidikan formal yang diterapkan di sekolah-sekolah seharusnya tidak hanya fokus pada aspek akademis, tetapi juga pada pembentukan karakter dan nilai-nilai moral. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Prof. Dr. Arief Rachman, bahwa “Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu membentuk manusia yang berakhlak mulia.”
Selain itu, pendidikan non-formal juga memegang peranan penting dalam membentuk masyarakat yang berbudaya. Melalui kegiatan-kegiatan di luar sekolah seperti kegiatan seni, olahraga, dan keagamaan, individu dapat lebih mengembangkan potensi diri dan memahami nilai-nilai budaya yang ada.
Namun, tantangan dalam implementasi pendidikan yang berbudaya tidaklah mudah. Dibutuhkan kerjasama antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran yang berorientasi pada budaya.
Dengan menjadikan pendidikan sebagai kunci utama dalam membentuk masyarakat yang berbudaya, kita dapat menciptakan generasi yang memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai budaya dan mampu menjaga warisan budaya bangsa. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan bukan sekadar untuk hidup, tetapi juga untuk menghidupkan budaya.”